Monday, July 16, 2007

Puing Asa Yang Tersisa

“Lelaki itu cuma ada dua : kalau nggak brengsek, ya pengecut!!” Itulah rutukan yang keluar untuk kaum Adam, ketika kadar keimanan ini lagi menurun. Namun kalau pas lagi bener, aku akan berpikir bahwa takdir setiap insan memang sudah ada yang menggariskan. Seperti hari ini, aku kembali disibukkan permasalahan model begini. Kadang aku merasa capek. Orang-orang di sekelilingku mempunyai permasalahan yang tidak jauh beda. Intinya, jodoh dan laki-laki.

“Aku nggak mau jatuh cinta lagi, karena aku takut bakal kecewa,” begitulah kalimat pembuka Lia bab curhatnya tadi siang. Ya, tidaklah sulit bagiku untuk memahami perasaannya. Toh, aku juga perempuan dan pernah mengalami hal serupa. Hanya saja, aku lebih beruntung darinya, karena berada diantara orang-orang dengan pemahaman Islam yang baik. Begitupun dalam hal keteguhan, aku diberikan kekuatan yang lebih daripada Lia. Selain itu, konsep cinta versi Lia masih bisa ia tuangkan dalam kamus pacaran. Lain halnya denganku. Bisa jadi aku hanya akan memendam sendiri kekagumanku pada lawan jenis, dan membiarkan waktu yang berbicara.

"Ke, kalau kamu masih sebatas sakit batin, namun tidak dengan aku. Bagaimanapun kamu masih lebih beruntung. Soalnya kamu nggak pernah mengalami nasib kayak aku. Aku tuh sudah sakit lahir-batin,” terangnya sedih. Mendengar penuturannya, aku hanya bisa terdiam. Perih. Kisah sedihku memang tidak sepilu dia. Itupun sudah cukup menyakitkan bagiku.

Sering aku menjadi tempat curhatan bagi teman-temanku. Mungkin mereka menangkap bakat motivatorku, dan berharap mampu membangkitkan semangat dan harapan mereka kembali. Meski terkadang, harus jujur kuakui bahwa akupun tidak mampu mensupport diriku sendiri.
Ahh, sesak nafasku memikirkan nasib teman-temanku yang belum jua menikah di usianya yang semakin merangkak senja, meski aku sendiri juga belum menjalaninya. Lia, termasuk salah satunya.

***

Hari ini Lia kembali meneleponku. Satu tujuan, ia ingin menemuiku. Hari Minggu memang saat yang tepat untuk bersua denganku. Jangan harap aku bisa ditemui di hari selainnya. Jadwalku sudah menumpuk, tidak bisa diganggu gugat. Hari Minggu pun aku tidak benar-benar free, karena sering ada acara dakwah. Meski sebenarnya capek, namun aku tidak tega membiarkannya menanggung kesedihan seorang diri.

“Kamu pernah nggak, punya perasaan dendam pada orang, Ke?” ungkap Lia sedih. Namun di balik sorot matanya kulihat kegeraman yang menghebat.

“Ya pernah dong. Aku juga manusia, punya rasa punya hati,” jawabku menirukan salah satu lagu rock yang lagi hit. ”Ih, tapi kalau kamu benci sama orang, mungkin hanya sebatas sebel. Dan, nggak lebih. Masalahnya sekarang, kalau dalam Islam dibolehkan membunuh sesama muslim, maka akan aku bunuh orang itu. Tapi sebelumnya, aku akan menyiksa dia terlebih dahulu. Biar dia bisa ngerasain gimana rasanya sakit hati. Aku juga akan membuat anak keturunannya menderita. Setelah itu, baru aku akan merasakan puas.”

“Apakah harus separah itu?” tanyaku

"Yah, bahkan aku berpikir bahwa aku sudah siap untuk masuk neraka dan mendapat murka Allah untuk hal ini,” terang Lia menggebu. Aku tersentak mendengar penuturannya. Namun kucoba tenang dan mencari logika yang tepat untuk menjawabnya.

“Oh ya? Apa tidak ada pilihan lain? Dengan melakukan itu, artinya kamu sudah kalah dunia dan akhirat. Kamu sudah merasa sakit hati di dunia karena perasaan kecewamu. Dan, kamu pun siap dengan akhir yang mengenaskan? Ahh, itu artinya kamu rela berkorban dunia akhirat hanya untuk dia,” ungkapku tanpa bermaksud menggurui.

“Masalahnya, kamu tidak pernah merasakan apa yang pernah aku rasakan, Ke. Seumur-umur, aku tidak pernah mempunyai musuh. Baru kali ini aku merasakan sakit hati pada orang. Dan itu sakiiiit banget,” bela Lia.

Aku kembali mengingat bagaimana jauh berbedanya masa laluku dengan Lia. Sosok Lia memang cenderung kalem, mandiri, dan hampir tidak pernah menemui masalah dalam hidup. Musuh pun ia tidak punya. Dengan kesendiriannya, tidak begitu banyak orang yang tersakiti maupun menyakiti. Beda jauh dengan diriku. Aku masih mengingat dengan baik pada "musuh-musuh"ku dari SD, SMP, SMA, kuliah, kerja hingga hari ini. Sebenarnya bukan aku yang menginginkan musuh datang menghampiri. Tapi, ketika ada kesadaran bahwa apa yang kulakukan adalah benar, maka aku siap untuk bertarung. Kebanyakan orang akan kalah jika harus berdebat denganku. Bahkan aku pernah membuat teman SD-ku menangis ketika bertengkar denganku.

Secara fisik aku hampir sama dengan Lia. Tubuh yang tidak terlalu tinggi dan kurus. Jika aku dan dia berjalan, maka seringkali menjadi pusat perhatian orang. Lia yang cantik dan bersih, sedangkan aku yang cenderung hitam manis. Yah, bagaimanapun aku tetap berusaha sabar dengan Lia. Sebenarnya kalau boleh jujur, Lia menderita karena dirinya sendiri. Ia terlalu percaya pada orang dan menganggap semua orang berlaku baik kepadanya. Bukan sekali dua kali aku menangis untuknya. Ini semata karena aku telah menganggapnya seperti saudaraku sendiri. Namun entah, ia sudah menentukan pilihan dan menyesali kekeliruannya.

“Jadi gimana, Ke? Menurutmu apa yang kau lakukan jika kamu menjadi aku?” todong Lia menghentakkan lamunanku.

“Ehm...Kalau aku jadi kamu, aku akan membiarkan dia dengan keluarganya. Dan, aku dengan duniaku sendiri. Aku nggak akan peduli dengan urusan dia. Tidak sudi lagi dia masuk kembali dalam hidupku. Aku akan mengganti nomor HP, meninggalkan jejak, dan mencari sesuatu yang baru untuk menyembuhkan sakit hatiku. Mungkin aku akan menikah atau mengembangkan potensiku dengan kuliah, kerja atau bisnis. Dunia masih luas. Dan masih banyak manusia yang sanggup berjalan denganku. Allah nggak akan diam kok. Aku akan menunjukkan kepada dia bahwa aku bisa lebih baik tanpa dia. Bukan tidak mungkin dia langsung mendapat murka Allah sekarang. Atau, memang balasannya nanti di akhirat. Artinya, aku tidak akan menambah lagi pekerjaan, apalagi yang jelas-jelas tidak ada nilai lebihnya buatku. Sudah ada bagiannya. Biarkan pengadilan Allah saja yang membalasnya. Mudah bukan?” terangku berpanjang lebar.

Aku juga menambahkan bahwa aku akan lebih puas jika dia melihatku dengan kesuksesanku, karirku, rumah tanggaku, anak-anak yang kelak bisa dibanggakan dan sebagainya. Dan, bisa jadi karena dia mendapatkan murka Allah, maka kondisinya berbalik 180 derajat dariku.

Ahh, sebenarnya aku harus lebih berhati-hati dalam memilih kata. Namun itu sudah terlanjur kulakukan. Bukan sekali dua kali saja, musuh-musuhku harus mengalami nasib pahit setelah menyakitiku. Meski aku tidak mengatakan apapun, namun Allah senantiasa mendengar apa yang terbersit dalam hati hamba-Nya.

Kembali ke Lia. Rasa kesalnya pada kaum Adam banyak dilatarbelakangi dengan pengalaman yang kurang menyenangkan. Bagaimana tidak. Ketika ia mulai belajar mencintai, ternyata ia salah menempatkannya. Ini bukan karena ia tidak menyadarinya. Namun, ia sendiri yang menyemaikan bunga cinta yang tidak seharusnya tumbuh. Ya, ia mencintai seorang laki-laki yang sudah beristri. Memang, dalam Islam tidak ada yang salah dengan poligami. Namun, semua itu harus dikembalikan lagi pada tujuan pernikahan yang semestinya. Pernikahan bukanlah ladang untuk bermain-main. Sebisa mungkin gerbang itu hanya dijalani sekali saja oleh seorang perempuan. Tidak lebih.

Ketika hal itu kusampaikan pada Lia, ia hanya tersenyum dengan hal yang disembunyikannya. Entah, apakah ia menerima jalan pikiranku atau tidak, aku juga meragukannya. Yang jelas, aku tidak tega untuk tidak merespon diskusi yang diajukannya. Hingga, kabar yang tidak mengenakkan kudengar tiga bulan yang lalu.

Diam-diam, Lia sudah menikah dengan pria beristri dan beranak satu tersebut. Dan, yang lebih menyakitkan lagi, ia sudah ditinggal dan diceraikan begitu saja, hanya dalam waktu yang sangat singkat. Belum lagi tuduhan miring bahwa dirinya yang menggoda bapak tersebut. Mendengar itu semua, aku merasa telah terkhianati olehnya. Namun entah, aku masih sabar datang dan mendengar penuturannya. Tidak seperti temanku yang lain, tidak ada simpati dan meninggalkan Lia begitu saja.

Aku tidak tahu, siapa yang diuntungkan dalam persahabatanku dengan Lia. Bukan berarti aku terlalu perhitungan dengan teman. Namun, tanpa kusadari, Lia telah memasukkan aku ke dalam lingkup permasalahannya. Laki-laki yang pernah menjadi suami Lia juga pernah menyukaiku. Hal itu terjadi sebelum ia mengenal sosok Lia dalam hidupnya. Ketika itu aku belum mengenal Lia. Namun, aku bukanlah sosok yang mudah tergoda. Apalagi laki-laki ini bukanlah tipeku. Meski kata orang secara fisik tergolong cakep, namun tidak ada gaya magnet yang membuatku tertarik.

Yang justru muncul adalah sikap antipati, tanpa bisa aku tutupi. Itu pulalah yang selalu aku nasehatkan kepada Lia. “Apa sih hebatnya lelaki itu? Menurutku tidak satupun yang menarik dari dirinya?” ungkapku kesal. Dan yang membuatku tambah sakit hati, semua itu Lia bocorkan kepada lelaki itu. Bahkan dengan pertanyaan Lia yang polos, “Bapak dulu suka ya sama Keke?” Urgh, terang saja ia langsung menolaknya mentah-mentah.

Cinta memang sesuatu yang misteri. Kadang kita tidak menyadari sesuatu yang membuat kita tertarik pada orang yang kita cintai. Cinta memang bukan untuk disalahkan. Hanya pelakunya saja yang seharusnya mampu menempatkan cinta dengan sebenarnya. Akan ada cinta di atas cinta. Ya, cinta pada Yang Maha Mencinta dan Menguasai kita. Apakah cinta kita pada manusia akan membuatnya kita lebih dekat dengan-Nya? Atau justru sebaliknya. Meski sulit untuk mengendalikannya, namun tidak ada yang tidak mungkin. Hanya orang-orang dewasalah, yang tahu kapan saatnya mencinta dan sebaliknya.

Kini Lia sangat menyesali semuanya. Dia cukup trauma dengan masa lalunya ini. Hingga ia pernah berniat melakukan segala hal konyol. Mulai dari membunuh laki-laki itu, melajang seumur hidup, pergi ke luar negeri, menyendiri di daerah terpencil dan segudang ide lainnya pernah ia ungkapkan. Hingga ia sendiri mengaku merasa capek hanya sekadar untuk mengatur strateginya. Yah, sebuah mimpi yang sia-sia.

Hari ini, kembali kudapatkan SMS dari Lia. “Hari ini, detik ini, pertama kalinya setelah beberapa waktu yang lalu, aku merasa bersalah. Aku kembali yakin, bahwa hanya kita sendirilah yang harus melakukan segala sesuatunya agar lebih baik. Itu pula, satu hal, yang mungkin, menjadikan diri kita tetap tegak berdiri.”

Hanya do’a yang bisa kuberikan pada Lia : semoga ia bisa menatap dan menapaki hari esok dengan lebih baik. Dan, semoga ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk tidak menjadi Lia-Lia yang lainnya.

Kepada sahabat-sahabatku yang MASIH BERTAHAN MENCINTAI SEORANG YANG SUDAH PERGI : Hal menyedihkan dalam hidup ialah bila kau bertemu seseorang lalu jatuh cinta, hanya kemudian pada akhirnya menyadari bahwa dia bukanlah jodohmu, dan kau telah menyiakan bertahun-tahun untuk seseorang yang tidak layak. Kalau sekarang ia sudah tak layak, 10 tahun dari sekarang pun ia juga tak akan layak. Biarkan dia pergi, lupakan..!! (Anonymous)

2 comments:

pipitpadi said...

great story sis....

Ardianz Family said...

Thanks, mbak Urie ^_^