Monday, July 16, 2007

Mendung di Hati Dinda

IJINKAN dan BIARKAN !!

Ijinkan aku untuk sedikit menyapamu
Biar hati ini kembali lurus
Ijinkan aku untuk menata hati
Meski sangat ingin terus berbagi
Ijinkan aku untuk sedikit bicara
Agar tidak smakin terasa luka
Biarkan aku dengan diamku
Agar tidak banyak yang tahu
Biarkan aku dengan sepi
Meski itu terasa sakit
Biarkan aku dengan duka
Agar tidak menambah dosa

Puisi ini aku temukan pada tumpukan meja Dinda. Kasihan anak itu. Aku begitu memahami perasaannya. Kemarin dia menceritakan bagaimana tidak enaknya ketika muncul perasaan cinta pada lawan jenis. Apalagi dengan pemahaman Islam yang dimiliki, bahwa tidak ada kamus pacaran dalam Islam. Nah, lantas mengapa masih ada cinta?

Menurutku ini masalah yang sangat manusiawi. Sudah menjadi fitrah bagi manusia untuk memiliki kecenderungan terhadap lawan jenis. Apalagi di usia Dinda yang cukup matang untuk segera mendapat seorang pendamping hidup. Ya, ia sering menyebutnya dengan Pangeran Berkuda yang akan datang menjemputnya. Meski terkesan lucu, namun aku menghargai sikap tegasnya yang tetap tidak mau berpacaran dengan makhluk laki-laki dimanapun.

Aku sebenarnya cukup terharu dengan kisahnya. Bagaimana tidak, seringkali ia harus mendapat masalah dengan laki-laki. Bahkan yang tidak mengenakkan adalah ketika ia dituduh yang 'tidak-tidak' dengan suami orang. Sungguh situasi yang tidak menyenangkan bagi perempuan lajang manapun.

Adikku ini bisa jadi memang tergolong FBI, alias Female Buruan Ikhwan. Wajar saja, ia memang smart and beautiful. Sepandai-pandainya ia menjaga diri, tetap saja para ikhwan mengincarnya. Sayangnya, termasuk yang sudah menikah.

Tidak jarang ia bercerita model kasus seperti ini. Teringat pembicaraanku dengan Dinda beberapa bulan yang lalu. Dinda sangat bersedih lantaran istri Budi habis menerornya. Memang, tidak ada air mata yang tertumpah. Namun, justru itulah yang aku khawatirkan. Bisa jadi, saking sakitnya, air mata pun tidak cukup untuk meluapkan emosinya. Bukan berarti dia adikku lantas aku membelanya. Namun, aku bisa adil melihat bagaimana fitnah-fitnah itu bisa berdatangan. Salah satunya adalah ketika Budi mengatakan pada istrinya "Mbok ya jadi perempuan itu seperti mbak Dinda..!!"

Wah, mungkin jika aku di posisi istri Budi, aku juga akan terbakar dengan ucapan ini. Masalahnya adalah, Dinda tidak pernah tahu apa-apa untuk kemudian dilibatkan dalam permasalahan mereka. Hingga istri Budi meneleponnya dan mengancam agar jangan lagi menghubungi suaminya. Jangan menelepon atau meng-SMS, bahkan menerima pun jangan. Teror ini disampaikan istri Budi melalui telepon kantor pada jam kerja. Terbayang, bagaimana kacaunya perasaan Dinda waktu itu. Antara malu, marah, ingin membela diri, kesal, dan berbagai rasa bercampur-aduk.

Satu hal yang membuatku bangga, kontrol emosi Dinda bisa dibilang cukup baik. Agak aneh mungkin, Dinda justru sangat bersedih jika dikasihani orang, daripada habis dimarahi orang. Seperti siang itu, Dinda masih dengan tenang memenuhi keinginan istri Budi. Alasannya cukup masuk akal, biarlah ia saja yang disalahkan, daripada bangunan rumah tangga mereka terancam, hanya karena kekeliruan sang suami. Ia tidak mau berpanjang lebar lagi, hingga terkesan kesalahan memang di pihak Dinda. Padahal, aku menjadi saksi hidup dalam hal ini. Justru Budi yang sering menelepon Dinda, tanpa pernah diangkatnya. Begitupun dengan SMS Budi, yang lagi-lagi tidak digubris oleh Dinda.

***

Kasus lain, dengan istri Arman. Senja itu, aku melihat Dinda yang pulang kantor dengan muka kusam. Kusam, sekusam-kusamnya. Ya, sulit untuk mencari padanan kata untuk menerjemahkan mimik mukanya kala itu. Tanpa kata, ia tunjukkan SMS dari Arman. "Afwan ukhti, jika selama ini ada hal yang kurang berkenan dari ana selama mengenal anti. Semoga tidak membuat putusnya tali silaturrahim...".

Sungguh, bagiku ini sebuah SMS yang aneh. Aku menangkap ada hal serius yang telah terjadi. Benarlah. ketika kutanya mengapa, mengalirlah deretan cerita yang membuatku cukup tercengang. Hal yang sama sekali juga tidak pernah terbersit dalam benaknya. Arman mengaku habis bertengkar dengan istrinya, gara-gara Dinda. Mereka sampai tidak tidur semalaman, hanya untuk membahas masalah ini.

Ahh, ini semua sebenarnya berawal dari hal yang sangat sepele. Malam itu, sehabis Kajian Muslimah, Arman menelepon Dinda untuk menawarkan pemasangan tenda pada acara pengajian ibu-ibu. Tentu saja, pekerjaan seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh akhowat. Pembicaraan itupun juga singkat. Dan, lagi-lagi, bukan Dinda yang menghubungi Arman terlebih dulu.

Alasan lain, wajar sekali jika yang dihubungi adalah Dinda, mengingat ia koordinator dalam Kajian Jelang Ramadhan tersebut. Ketika Arman menanyakan butuh bantuan berapa ikhwan, dengan enteng Dinda menjawab : sebanyak-banyaknya! Nah, bukankah jawaban ini sudah cukup mewakili, bahwa Dinda memang tidak men-spesial-kan sosok Arman? Entah, siapa orang yang tega menyebarkan fitnah tersebut. Lucu saja sebenarnya, meski Arman masih bujang pun, aku yakin Dinda tidak tertarik padanya. Apalagi sekarang, sudah ada 6 bocah kecil-kecil yang menjadi tanggungan hidupnya.

Fyiuhh, aku memang tidak bisa menolong banyak untuk Dinda. Yang kulakukan hanyalah sedikit menghiburnya dan menasehatkan untuk lebih menjaga diri. Selain itu, aku memintanya untuk tabayyun kepada istri Arman jika memungkinkan. Hingga suatu hari, ada kesempatan untuk silaturrahim ketika anak Arman yang masih bayi harus opname karena tersiram air panas. Berombongan kita menjenguknya, dan berharap bisa mencairkan setelah kekakuan, terutama dengan istri Arman. Meski awalnya sangat berat bagi Dinda untuk ikut bergabung, namun ia memaksakan diri. Siapa tahu segalanya akan menjadi lebih baik. Dinda pun bisa bernafas lega, menganggap masalah ini sudah selesai.

Ternyata dugaan Dinda meleset. Heran saja, 8 bulan kemudian, masalah ini masih saja terdengar dan melebar kemana-mana. Bahkan, ketua organisasi yang dihormatinya pun turut membincang masalah basi ini, meski Dinda sudah tidak lagi tinggal di sini. Wajar jika kemudian ia enggan untuk datang, karena ada saja orang-orang iseng yang masih membahasnya.

Apa boleh buat, akhirnya aku merasa wajib untuk membuat klarifikasi, meski Dinda tidak pernah memintanya. Sengaja tidak kuberitahukan pada Dinda, khawatir mengganggu konsentrasi kerjanya. Aku sendiri awalnya juga enggan untuk membuka masalah ini kembali. Namun di luar dugaan, teman-teman Dinda marah besar ketika mendengar fitnah ini masih terdengar lagi. Mereka tidak rela, dan meminta ijin untuk menyelesaikan gosip murahan itu.

Ahh...yang jelas, tidak hanya dua kasus itu saja yang Dinda alami. Lebih dari itu. Aku cukup sedih mendengarnya. Namun apa daya, aku tidak bisa memberikan solusi lebih. Aku juga sangat tahu bahwa banyak yang menginginkan Dinda. Bisa jadi ia sudah menolak puluhan ikhwan hanya demi menyenangkan aku sebagai kakaknya dan orang tuaku. Padahal aku sudah mempersilakannya beberapa kali, jika memang berniat menikah terlebih dahulu. Tapi, lagi-lagi Dinda tidak melakukannya.

Pernah aku mendapat cerita dari temannya bahwa dalam satu bulan Dinda pernah lima kali diminta lelaki. Ada yang adik-temennya, kakak-temennya, temen-temennya, semuanya tidak ada yang serius difollow-up, dengan alasan dalam adat Jawa tidak boleh mendahului kakaknya. Akhir-akhir ini ia juga menolak ikhwan dengan alasan yang sama.

Ya, aku sebenarnya berterima kasih kepada dia atas kedewasaan dan pengertiannya. Namun aku juga turut sedih dengan konsekuensi dari pilihannya tersebut. Sepertinya aku menjadi penghalang baginya untuk bahagia, meski itu juga tidak aku kehendaki. Di usiaku yang terus merangkak, aku juga belum mendapat gambaran tentang 'Pangeran Berkuda' (mengutip ungkapan Dinda). Entah sampai kapan. Meski doa dan usaha juga telah aku upayakan.

Kembali ke puisi Dinda. Aku sangat maklum jika Dinda yang banyak disukai lelaki, juga mempunyai naluri untuk mencintai. Sangat mungkin. Ini yang kedua kalinya terjadi pada Dinda. Ia begitu pintar menyembunyikan perasaannya, hingga mungkin hanya aku saja yang tahu. Pilihan Dinda sebenarnya sangat masuk akal : sholeh dan cerdas.

Menurutku, ini bukan sesuatu yang berlebihan. Bukankah ibunda Khadijah juga terlebih dahulu menginginkan Rasulullah? Namun sayang, Dinda tidaklah memiliki keberanian seperti ibunda Khadijah. Atau, alasan yang lebih kuat adalah lagi-lagi dia menghormati perasaanku sebagai kakak perempuannya, yang juga belum menikah di usia yang cukup matang. Aku juga mengetahui bahwa ikhwan pertama yang diinginkan Dinda juga mengharapkannya. Namun keduanya menyadari bahwa itu jalan yang salah, jika menyemaikan perasaan tanpa pernikahan. Dan, akhirnya ikhwan tersebut menikah dengan akhwat lain.

Mendung itu tampak jelas. Dinda meneleponku untuk meminta nasehat. Jarak kota yang memisahkan kita, tidak menghalangi Dinda untuk tetap berbagi denganku. Termasuk kepulangannya Sabtu sore itu. "Kak, gimana ya biar kita bisa tetap lurus menata hati? Selama ini aku merasa aman-aman saja, tapi.." Kalimat Dinda menggantung. Aku sudah bisa menebak bahwa ia sedang mengagumi sosok laki-laki idamannya. Aku juga bisa menduga bahwa dirinya sedang takluk pada lelaki yang sholih dan cerdas.

Aku terhenyak dengan penuturannya. Entah sampai kapan ia dengan pilunya. Dan tentunya, aku dengan pilu yang lebih-lebih lagi. Hanya pesan ini yang kusampaikan untuk Dinda : Pangeran berkudamu akan datang...jika tidak di dunia, nantikan ia di surga. Mengajakmu mengembara..!!

*** Selesai ***

Alhamdulillah, Aku dalam kisah ini akhirnya menemukan Pangeran Berkudanya, dan kini tengah hamil 2 bulan. Tulisan ini dibuat sebelum ’Aku’ menikah. Mohon do’anya untuk Dinda.

No comments: