Wednesday, July 25, 2007

Jalan Tanpa Cahaya

Cerita ini bukan sulap atau berkaitan dengan hal-hal magic. Ini sungguh pengalaman religius, ketika aku masih duduk di bangku kelas 2 SMP dan kakakku kelas 1 SMA. Cukup lama memang, namun cukup berharga untuk diambil hikmahnya, siapa tahu Anda pun ingin mencobanya...

Ya, kejadian ini bermula ketika aku harus menemani mbakku ke acara syukuran wisuda kakak temannya. Acara sebenarnya habis Isya, tapi dia mengajakku silaturrahim terlebih dahulu ke temennya yang lain. Maklumlah, saat itu masih berbau lebaran. Semangat untuk banyak-banyak mengunjungi saudara maupun teman masih sangat kental dalam tradisi kami. Yach, sebenarnya dari awal aku sudah menolak dengan tawarannya. Bukan apa-apa, alasanku cukup masuk akal. Rumah kami yang sudah cukup terpelosok, masih harus menuju tempat yang jauh lebih terpelosok lagi. Ditambah lagi dengan sarana transportasi yang kurang mendukung. Ya, kami menikmati malam itu dengan sepeda onthel yang kami miliki. Itupun juga bukan sepeda yang cukup nyaman untuk dinaiki, semodel federal, atau wim cycle. Bisa dibilang, inipun sepeda-sepeda butut yang mungkin tidak akan cepat laku jika dijual.

Apa boleh buat, keinginan mbakku untuk tetap datang ke rumah temannya sangatlah kuat. Menurutku hal ini tidak terlalu wajib, bahkan bisa dibilang nekat untuk memenuhinya. Mungkin siapapun akan berpikiran yang sama. Apa untungnya buatku melakukan perjalanan jauh di malam seperti ini. Aku tidak punya urusan dengan sahabat mbakku ini. Mungkin satu-satunya yang masih bisa mengobatiku adalah harapan lezatnya makanan yang bakal tersaji. Maklumlah, pikiran anak ABG...:-) Khayalan untuk menghibur diriku agar dapat mengayuh sepeda yang bakal menghabiskan waktu sekitar 2 jam. Betapapun, aku lumayan hafal daerah ini. Dan, sudah terbayang di depan mata, bagaimana sulitnya medan yang harus dijalani. "Dasar nekat", rutukku dalam hati.

Sekitar pukul tujuh malam, kami mulai menuju desa terpencil itu, meski sebelumnya aku harus berantem dulu untuk terpaksa mengantarnya. Mungkin memang menyenangkan bagi mbakku untuk melakukan perjalanan aneh ini. Maklum, ia bisa mendapatkan kesempatan bersekolah di kota mulai dari SMP. Sedangkan aku, hanya gara-gara tubuhku yang mungil, ortuku tidak memberi ijin untuk bersekolah di kota. Makanya, aku sudah cukup kenyang untuk bersepeda. Bagaimana tidak, lima kilometer harus aku tempuh menuju sekolah pulang-pergi. Belum lagi ditambah hobi keluyuran ke rumah teman, hingga cukup mengenal beragam wilayah kecamatanku. Lain halnya dengan mbakku. Naik sepeda merupakan hal yang jarang dilakukannya. Tidak heran jika ia begitu menikmati liburannya dengan bersepeda. Namun sebenarnya ia tidak begitu mengenal jalan-jalan di sekitarku. Termasuk perjalanan yang akan kami tuju. Satu hal, aku memang tidak terbiasa menolak tawaran orang. Rasanya tidak enak jika harus mengecewakan. Apalagi, mbakku ini termasuk orang yang nekat. Mungkin kalau ia paham jalan, aku tega melepasnya seorang diri. Tapi sayang, ia sering lupa dan lupa lagi.

Kukayuh sepedaku meski agak sedikit jengkel. Kami membawa dua sepeda, dan mengayuhnya sendiri-sendiri. Ini lebih baik, karena akupun tidak begitu percaya jika harus dibonceng olehnya.Rumah-rumah yang kulewati sudah lumayan sepi. Perjalanan masih jauh, tapi ketakutan sudah di depan mata. Beberapa orang sering bercerita kepadaku sebuah tempat yang cukup seram akan kami lewati. Dan, itu semua semakin membuatku resah. Meski dalam keluarga aku termasuk yang paling pemberani, namun tidak untuk saat ini.

Dan benarlah, meninggalkan jalan raya menuju jalan desa sudah semakin sepi. Tidak ada penerangan yang cukup berarti. Sepi. Hampir semua sudah mengunci rumah. Entahlah, mungkin mereka memang lebih suka menutup malam dengan segera. Memasuki area angker, kami hanya diam. Hatku tidak karuan. Sebelah kiri kami pohon-pohon bambu yang rimbun dan gelap. Menyesal setengah mati. Jika saja aku tidak melewati hari ini. Kayuhan sepeda yang kuat, sepertinya tidak begitu berarti. Tetap saja jalanan ini terasa lama dilalui. Terus saja kukayuh sepedaku sekencang-kencangnya. Hanya do’a yang terus kulantunkan dan penyesalan atas kekonyolan yang kulakukan. Ya, pohon-pohon bambu dan tanah kosong yang cukup luas itu sudah terlewati. Sekira 10 menit, akhirnya kami pun melewati tempat itu. Selamat, syukurku dalam hati. Tapi aku menyadari perjuangan belum berakhir. Setengah kilo dari tempat seram itu adalah jalanan berbatu yang cukup panjang. Aku tahu persis bahwa kanan kirinya hanyalah hamparan sawah luas. Di antara jalan dan sawah adalah sungai sawah yang berdiameter satu meter. Aku tidak tahu pasti kedalamannya, namun tentu akan sakit jika terjatuh di dalamnya. Dan yang membuatku menyesal, jalanan yang berdiameter satu setengah meter itu dibuat berbatu di tengahnya. Ya, hanya cukup untuk satu roda saja yang bisa berjalan di tepinya yang mulus. Itupun juga berkelok-kelok. Jika kita salah mengikuti alurnya, tinggal memilih : kerasnya terantuk batu atau tergelincir masuk sungai.

Tidak ada pilihan lain. Gelap..gelap..dan gelap. Tidak ada cahaya setitikpun. Ini sama artinya dengan bersepeda menutup mata. Sama persis. Aku sudah putus asa. Kembali kutawarkan kepada mbakku untuk membatalkan niatnya. Dengan banyak berdebat, ia tetap ngotot untuk meneruskan perjalanan. Satu hal yang membuat ia bersikeras meneruskan, sepertinya ia juga sudah lupa seberapa panjang jalanan tanpa cahaya yang harus dijalani.

Tidak tega membiarkannya berjalan sendirian, dengan mengucap bismillah, kukayuh lagi sepedaku. Rasa takut menghinggapiku. Aku tidak yakin dapat mengayuh sepeda dengan baik. Meski aku sudah cukup lihai memainkan pedal dan remnya, namun pesimis tetap saja mendominasi. Perely sehebat apapun tidak ada yang melakukan hal konyol seperti ini.

Dengan grogi kukayuh dan kukayuh sepedaku. Bibirpun tak lepas untuk terus memohon pertolongan-Nya. Kepasrahan total akan apa yang bakal terjadi. Beberapa surat pendek dari Al Qur’an aku ulang-ulang. Memang tidak banyak do’a maupun surat pendek yang saat itu sudah kuhafal. Timbul penyesalan mengapa aku tidak banyak menghafal do’a sebelumnya.“Dik, do’a terus..banyak membaca Al Fatihah! Yang keras bacanya,” teriak kakakku yang bersepeda di depanku. Meski sebenarnya ia tidak terlihat sama sekali olehku. “Iya..iya” sahutku. Aku sudah tidak lagi berdebat dengannya tentang perjalanan konyol ini. Aku sudah sibuk untuk berdo’a dan berdo’a. Aku berharap panjang jalan ini menyusut, hingga aku bisa segera selamat di tempat tujuan. Mulailah kami melakukan dzikir berjamaah di tengah sawah.

“Wooow”, kami menjerit kompak dengan kencang ketika melihat setitik cahaya merah di pinggir jalan. Jantungku serasa berhenti berdetak. Kaget sekaget-kagetnya. Ingatanku kembali berputar pada kejadian serupa yang kualami di waktu aku masih kecil. Ya, aku dengan mbakku pernah melihat lampu teplok berjalan tanpa ada yang memegang. Ketakutan dan berlari sekencang-kencangnya adalah hal yang dulu kami lakukan. Namun, untuk mengayuh sepeda lebih kencang dengan kondisi seperti itu rasanya tidak memungkinkan. Dingin semakin menyergap. “Dik, apa itu?,” tanya mbakku yang sama takutnya denganku. “Udah nggak usah dilihat. Terus aja berdo’a,” teriakku menyahutnya. Titik itu semakin dekat dan dekat. Meski berusaha untuk tidak melihatnya, namun tetap tidak mengurangi gundahnya hatiku.

Do’a semakin kencang terlafadzkan, hingga akhirnya kudengar “Gerrrrrr, terdengar suara tawa sekumpulan orang yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Yach, ternyata cahaya itu berasal dari rokok yang sedang dinikmati salah satu dari mereka. Lega, bingung dan tidak percaya bercampur menjadi satu. Aneh, pikirku saat itu. Di tengah sawah yang cukup jauh dari pemukiman, mereka mau-maunya ngumpul-ngumpul tanpa ada cahaya. “Hati-hati mbak, awas gelap”, teriak mereka masih dengan tawanya yang ngakak."Itupun aku juga sudah tahu", rutukku dalam hati. Meski demikian, aku juga agak tenang karena masih ada manusia di sini. Terbersit niat untuk meminta tolong pada mereka, berharap mau meminjamkan senter untuk penerangan. Tapi pikiran itu dengan cepat kutepis, khawatir kalau mereka ternyata orang jahat. Akhirnya, kami tidak mempedulikan mereka lagi. Itu merupakan pilihan terbaik untuk saat itu. Dan, mengayuh sambil berdoa adalah hal yang paling mungkin untuk terus dilakukan.

Hingga tiba-tiba kurasakan sesuatu yang berbeda. Kayuhan demi kayuhan yang awalnya berat, tiba-tiba terasa ringan. Aku sedikit kaget dan gembira. Sepertinya sepeda ini ditarik ke depan dengan lebih cepat. Terus terang, aku bingung kalau-kalau dengan laju yang kencang akan lebih sakit jika terjatuh. Namun, segera kusadari bahwa ini bukan lagi kendaliku. Satu-satunya alasan yang paling memungkinkan adalah Allah menjawab do’aku. Sungguh, hatipun semakin tenang. Aku tidak takut lagi akan terbelok atau terjatuh. Aku sangat percaya pada Sang Pengendali. Aku terus berdo’a dan berdo’a sebagai bentuk syukur.

Aku terus merasa dapat mengendalikan sepeda dengan mudah. Hingga akhirnya kami pun sampai di rumah teman kakakku dengan selamat. Alhamdulillah, aku bisa bernafas lega. Kami disambut dengan baik oleh mereka. Kuselonjorkan kaki untuk meregangkan ototku yang sejak tadi terus menegang. Aku sedikit tersenyum, ketika menyadari bahwa kini aku tidak begitu bernafsu lagi dengan makanan yang disuguhkan. Otakku masih terus berpikir akan hebatnya kejadian yang aku alami. Kakakku ternyata berpikiran sama. Sama persis. Kami tertawa bersama, meski ada sedikit kesal. Hanya sedikit…

Ketika ditanya bagaimana kami menuju ke sana, mereka semua terkaget-kaget. Mereka tidak menyangka kami bisa melalui jalanan tanpa cahaya itu. Rasa salut tertangkap dari wajah-wajah mereka untuk kami, gadis-gadis polos yang berani. Akhirnya, kakaknya teman bersedia mengantarkan kami pulang. Dengan diiringi cahaya motor dari belakang, kami bisa melalui jalanan dengan lebih mudah. Sekitar pukul 22.30 kami sampai di rumah. Tak lupa kami bersegera mengambil air wudhu dan sholat Isya untuk menunaikan kewajiban, sekaligus meluapkan bentuk kesyukuran. Sungguh, ini sebuah hal yang luar biasa hebat. Kekuatan Allahlah yang sudah menggerakkan. Membuat segalanya menjadi mudah. Di saat penglihatan manusia sudah tidak lagi mampu menangkap, namun Allah tidak enggan untuk menuntunnya. Aku semakin menyadari kasih sayang-Nya padaku. Syukur dan syukur atas kemudahan yang Allah berikan. Aku merasa tidak semua orang mendapat kesempatan serupa.

Yah, akhirnya aku masih bisa tidur pulas hari itu. Sebelum menutup malam, sejenak aku merenung. Ya. meski cukup menegangkan, namun aku harus berterima kasih kepada kakakku yang menyertakanku dalam petualangan ini. Minimal ada yang bisa untuk dikenang dan diceritakan. Bagiku, ini menjadi sepenggal pengalaman berharga yang takkan kulupa. Dan, ini adalah pertama kali aku mampu mengenal-Nya dengan dekat. Sangat dekat…

No comments: