Saturday, April 28, 2007

Senyuman Untuk Kehidupan

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.

Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.

Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.

Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,

nasib, dan kehidupan

(potongan sajak WS. Rendra, Sajak Seorang Tua untuk Istrinya)

Begitulah hendaknya kita menyikapi kehidupan. Seperti sajak itu. Ya, dengan senyuman. Bukan karena kedok ataupun sekadar ingin bersandiwara.

Mungkin cerita ini bisa mewakili. Tetangga saya pernah curhat pada saya setelah keluar kerja. Status beliau sama dengan saya, perantau dan masih gadis. Si Mbak ini mengaku stress berat, merasa tidak berguna berlama-lama hidup di dunia. Dari awalnya yang hanya kehilangan pekerjaan, kemudian berlanjut pada pikiran yang selalu terbebani, hingga akhirnya sakit. Sakitnya lebih ke arah jiwa. Semacam mendapat gangguan jin.

Setelah berdiskusi panjang lebar, sebenarnya masalahnya hanya satu : pekerjaan. Jika dari sisi financial, sebenarnya beliau masih ada kakaknya, yang masih sabar menanggungnya. Pada curhatnya, beliau berkata pada saya “Enak ya jadi Mbak? Sudah cantik, pinter, kerjanya enak..”. Ck ck ck..Mungkin disinilah masalahnya. Kata pepatah : rumput tetangga tampak lebih hijau ketimbang rumput sendiri.

Saya hanya tersenyum dan berkata, “Mbak kalau di posisi saya bagaimana ya?” Akhirnya saya ganti bercerita tentang liku hidup saya, yang sebenarnya jauh lebih ‘berdarah-darah’ ketimbang yang beliau alami. Niat saya bercerita hanya untuk menunjukkan bahwa seburuk apapun situasinya, jika kita bijak menyikapinya, maka segalanya akan lebih mudah. Si Mbak akhirnya tersenyum terheran-heran. “Wah, kok bisa ya?” katanya mengaku malu. Tanpa bermaksud menggurui, saya berkata kepadanya:

Setiap masa ada fasenya, ada situasinya

Ada sedih dan dukanya

Kedewasaanlah yang membuat kita

Sanggup melewati fase-fase tersebut


Selanjutnya, karena diminta, saya pun mencoba memberikan kiat keluar dari situasi ini, hasil percobaan dari diri saya sendiri. Berikut beberapa diantaranya :

1. Bermesraan dengan Sang Pemilik Hati

Jiwa pun butuh makanan. Mendekat pada Yang Maha Mencinta diri kita memberikan energi yang luar biasa. Karena, Dialah yang kuasa membolak-balik hati manusia. Sejenak kita diberi kebahagiaan, sekejap pula dicabut-Nya. Hanya dengan kesadaran bahwa paket kehidupan inilah yang terbaik untuk kita, maka kita pun akan tenang menjalani kehidupan.

2. Berbagi

Ada saatnya kita membutuhkan teman untuk berbagi. Beban akan menjadi lebih ringan jika kita tidak menanggung kegelisahan seorang diri, meski teman berbagi kita juga tidak secara langsung memberikan solusi.

3. Tuangkan melalui karya

Ketidaknyamanan suasana hati kadang justru bisa melahirkan karya yang tidak terduga. Jangan biarkan diri kita terdiam tanpa aktivitas. Lakukan apa saja yang bisa kita lakukan. Jika kita suka menulis, mengapa tidak menuangkannya melalui tulisan? Bisa jadi, energi kepenulisan itu lahir dari sini, buah dari kegelisahan, penderitaan. Dan, pada saatnya, apapun bentuknya, karya tersebut bisa menjadi sesuatu yang luar biasa.

4. Lakukan hal yang bisa membangkitkan jiwa

Masing-masing orang mungkin melakukannya dengan cara yang berbeda. Ada yang sekadar refreshing dengan berlibur ke pantai, gunung. Ada yang membaca. Atau seperti saya kemarin, kembali ikutan aksi ke jalan

Beberapa hari kemudian, kakaknya si Mbak tersebut datang untuk berterima kasih, dan meminta saya untuk sering-sering menengok adiknya. “Insya Allah, semoga adiknya bisa segera mendapat jalan keluar,” jawab saya yang diamin-kan olehnya.

Ya, begitulah manusia. Seringkali merasa paling menderita. Mengaku makhluk tersial yang pernah lahir di muka dunia. Nyatanya, kita bukanlah satu-satunya orang yang menderita. Masih banyak orang yang senasib, atau mungkin jauh lebih sengsara ketimbang kita. Tinggal bagaimana kita menyikapinya, agar senantiasa mampu memberikan senyuman untuk kehidupan.

No comments: