Monday, April 16, 2007

Menjadi Pemberani atau Ksatria ?

Setiap manusia di dunia pasti punya kesalahan
Tapi hanya yang pemberani yang mau mengakui
Setiap manusia di dunia pasti pernah sakit hati
Hanya yang berjiwa ksatria yang mau memaafkan
(Sherina)

Pagi kemarin saya mendapat SMS dari sobat lama yang sekarang tinggal di Surabaya. Beliau memberitahukan bahwa si Fulan di Jakarta meminta nomor saya untuk meminta maaf. Si Fulan merasa takut dosa dan mengira kepindahan saya dari Jakarta ke Bandung, karena permasalahan saya dengan beliau. Saya langsung tersenyum membaca SMS tersebut, meski dalam hati terkuak kembali luka lama. Tanpa berpikir panjang saya membalas SMS tersebut : "Yang sudah ya sudah. Nggak usah dibicarain lagi. Disini ternyata lebih baik untuk ane. Tenang saja. Allah tidak akan menyiakan hamba-Nya". Ternyata SMS tersebut masih bersambung, sebagai bentuk ketidakpuasan atas jawaban saya yang terkesan diplomatis. Sobat saya ini kembali bertanya : "Jadi beliau dimaafkan nggak?" Saya kembali tersenyum dan tanpa ragu membalasnya : "Ya iya dong. Hanya seorang yang pemberani sajalah yang mau mengakui, dan hanya seorang ksatria-lah yang mau memaafkan. Ane juga minta maaf. Bukan karena beliau ane pindah ke Bandung, tapi butuh kerja buat nyambung hidup. Hehe"

Pfuiih..lega. Saya merasa keluar dari beban berat. Tidak mudah memang untuk mempraktekkan kedua pilihan tersebut. Meminta maaf ketika kita merasa benar atau memaafkan ketika merasa tersakiti. Namun, membiarkan masalah berlarut-larut, memendam rasa enak tidak enak, justru memiliki resiko yang lebih besar lagi. Jika kita berada dalam satu atap, entah organisasi atau perusahaan, maka akan banyak pekerjaan yang tidak beres, perasaan menjadi tidak nyaman, energi banyak terkuras untuk sesuatu yang kurang penting dan paling berat adalah ketika teringat dosa yang akan kita tanggung.

Beberapa kali saya pernah bermasalah dengan orang lain, kadang untuk permasalahan yang saya sendiri tidak tahu menahu penyebabnya. Karenanya, saya seringkali menyikapinya dengan tersenyum atas ‘candaan’ Allah ini. Untuk masalah di atas, saya pernah mendapat fitnah yang menyebar tanpa saya merasa melakukan tuduhan tersebut. Memang saya merasa risih dan enggan untuk menanggapinya secara serius. Namun hal yang tidak bisa saya kendalikan, justru teman-teman dekat sayalah yang membela saya habis-habisan tanpa sepengetahuan saya, dan menerima kabarnya jauh hari sesudahnya. Herannya, masalah tersebut masih terdengar meski sudah berjalan sekitar 8 bulan. Padahal, saya sendiri sudah tidak menganggap bahwa itu masalah dan merasa tidak membenci siapapun.

Pengalaman lain, ketika kerja di perusahaan elektronik dulu, ada seorang staf yang mengadu ke atasannya di departemen lain, dengan laporan bahwa kerja saya tidak beres. Ketika ruang dialogis menjadi tidak sehat, saya lebih banyak terlecehkan, apalagi atasan sendiri pun tidak serius melakukan pembelaan, maka saya tidak enggan untuk memutuskan resign. Meski demikian, saya tetap memberikan yang terbaik pada perusahaan tersebut, sebagai kontribusi terakhir. Ya, saya masih mau datang keesokan harinya untuk menemani Direktur Sales menjalani audit untuk mendapatkan sertifikasi ISO. Esoknya lagi, saya sudah tidak pernah datang ke perusahaan tersebut, setelah menyodorkan surat ijin kepada atasan. Resiko untuk mempertahankan harga diri ternyata bukanlah sesuatu yang gampang. Mungkin terkesan emosi bagi orang lain, namun merupakan pilihan jantan menurut saya. Banyak teman yang bertanya-tanya dan merasa kehilangan. Dua pekan kemudian, si Mbak yang mengadu tanpa fakta ini mengaku merasa sangat menyesal, meski beliau tidak sanggup mengatakan langsung pada saya.

Apakah lantas saya tidak mau memaafkan orang-orang yang mengaku bersalah pada saya? Jawabnya : untuk apa? Kita bisa saja membalas dengan porsi yang sama atau lebih dengan kesalahan yang diperbuat oleh orang lain. Namun, jika demikian, apa bedanya kita dengan mereka? Tentu saja kisah pendzoliman itu akan berlaku terus dan terus, lagi dan lagi. Ia akan semakin tumbuh subur di muka bumi ini. Karenanya, akan lebih hebat jika kita mau menolak bentuk pendzoliman dengan kebaikan. Rasulullah sendiri pun mengajarkan kita untuk murah memaafkan, bukan? Tentu saja kita belum ada apa-apanya jika dibandingkan pelecehan yang beliau alami. Tidakkah kita juga menginginkan ketinggian derajat seperti yang disabdakan Rasullulah berikut ini :

"Maukah aku ceritakan kepadamu tentang sesuatu yang menyebabkan Allah memuliakan bangunan dan meninggikan derajatmu? Para sahabat menjawab, tentu. Rasul bersabda, 'Kamu bersikap sabar (hilm) kepada orang yang membencimu, memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu, memberi kepada orang yang memusuhimu, dan menghubungi orang yang telah memutuskan silaturrahim denganmu.'" (HR Thabrani)

Belajar dari pengalaman-pengalaman itulah, saya berusaha untuk menjadi orang yang gampang untuk meminta maaf maupun memaafkan. Untuk urusan minta maaf, karena ada kesadaran bahwa saya termasuk orang yang terbuka dan ceplas-ceplos, sehingga rentan bagi orang yang perasa untuk ‘tersakiti’. Sedangkan untuk urusan memaafkan, saya berusaha memahami bahwa beban orang yang merasa berdosa dan menyadari kekeliruannya, bisa jadi lebih berat daripada pihak yang tersakiti. Kurang fair jika kita tidak memberi ruang untuk memaafkan kesalahan mereka. Lalu, apa alasan kita untuk enggan memberi maaf? Toh, kita semua mempunyai peluang yang sama untuk melakukan kesalahan serupa. Tidak terkecuali. Kesempatan seperti ini justru menguntungkan bagi siapa saja untuk berdo’a sebanyak-banyaknya, dengan keyakinan bahwa do’a orang yang terdzolimi akan didengar dan dikabulkan oleh Allah. Dan, saya pribadi, menjadi tantangan untuk menjadi sang Pemberani atau sang Ksatria

No comments: