Tuesday, April 17, 2007

Akhwat 'Lemper'

Tidak perlu bingung, julukan ini sudah sering kami pakai untuk menyebut aktivis dakwah yang hebat. Ya, lemper singkatan dari LEMbut tapi PERkasa. Tentu yang pas menyandangnya hanyalah para akhowat. Akan aneh jika gelar ini disandangkan kepada para ikhwan :P

Kali ini saya akan menceritakan seorang sahabat hebat saya. Namanya Gina. Saya biasa memanggilnya teh Gina, meski usianya dua tahun lebih muda ketimbang saya. Saya terbawa kebiasaan orang Sunda, yang menyebut 'Teh”, dengan tidak memandang usia lebih muda atau tua, tapi untuk lebih menghargai si empunya nama.

Tentang teh Gina, sosoknya sederhana, tenang, dan tidak banyak bicara. Beliau lebih suka mendengarkan, ketimbang didengarkan. Mengajar di beberapa SMU adalah profesinya. Menurut teman sesama pengajar dan murid-muridnya, beliau ini termasuk yang disegani karena karisma yang dimilikinya.

Pertama mengenalnya, saya tidak bisa langsung akrab, hingga sebuah tugas dakwah menjadikan kita lebih saling mengenal. Tidak terlalu sulit untuk menyesuaikan diri dengan beliau. Kami bisa saling belajar dengan cepat. Dari teh Gina, saya belajar keikhlasan berkorban untuk dakwah. Sedangkan dari saya, beliau mengaku belajar semangatnya. Singkatnya, semakin mengenalnya, semakin saya kagum akan pribadinya.

Ditengah kesibukannya yang padat, beliau orang pertama yang menawarkan diri untuk menemani saya mencari dana sponsorship kegiatan. Memang paling efektif jika mengajak beliau, ketimbang yang lainnya, mengingat satu-satunya panitia akhwat yang bisa naik motor hanya beliau saja. Ya, ini menjadi kritik bagi akhwat, terutama saya pribadi, untuk bisa mengendarai motor. Urusan dakwah pastinya akan lebih lancar andaikan para akhowat juga lincah di jalanan.

Nah, berbicara kelincahan, teh Gina termasuk yang saya acungi jempol. Meski beliau juga baru belajar naik motor, namun terbilang cepat dan berani menguasai jalanan. Saya punya pengalaman yang luar biasa dengan beliau. Beberapa kali kami harus menyeberangi banjir di jalanan Dayeuh Kolot-Bandung yang tingginya 40 centi-meteran. Bagi saya yang tidak bisa naik motor, maka salut melihat kelincahan beliau. Hujan yang cukup deras, dan kemacetan yang luar biasa, tidak menyurutkan beliau untuk memacu Vario-nya mengejar agenda syuro saya berikutnya, yang bukan agendanya. Hal ini tidak hanya sekali dilakukan. Sebelumnya, beliau tidak enggan menemani saya pada beberapa acara, meski beliau sendiri merasa tidak mengerti dan tidak pula tertarik dengan agenda tersebut. Bangga aku padamu, Sobat!

Oh ya, sekitar 2 bulan kemarin beliau menggenapkan setengah dinnya. Ada sedikit kehilangan ketika mengetahui bahwa lagi-lagi harus 'ditinggalkan' sahabat dekat saya. Hebatnya, meski beberapa pekan sebelumnya kami hampir tiap hari 'jalan' bersama, beliau tidak pernah mengungkit sedikitpun tentang rencana pernikahannya, yang justru lebih dekat ketimbang pelaksanaan kegiatan yang kami kerjakan. Begitu rapi, begitu apik. Karena memang tidak tahu menahu, saya ringan saja curhat masalah kegiatan, terkait kurangnya dana, bagaimana membangun tim yang lebih solid dan sebagainya. Dan, beliau selalu menjadi pendengar yang baik, meski saat itu pastinya juga pusing mempersiapkan rencana walimahannya. Beliau baru mau berbicara ketika saya memintanya.

Cerita lain menjadi pelengkap pelajaran yang bisa dicontoh dari sosok ukhti yang tidak suka merepotkan orang, tapi suka direpotkan ini. Ya, ditengah kesulitan yang menghimpit jalannya roda organisasi, beliau sekali lagi menawarkan diri sebagai penolongnya. Tadinya saya sudah tidak tahu harus dengan cara apa menyelesaikan masalah tersebut. Hingga tadi malam beliau mengirim SMS kepada saya : "Teh, ini uang mau dikesiapakan? Ada sekian juta. Kalau memungkinkan, Gina ke Teteh jam 20.30." Sungguh hal yang tidak saya duga sebelumnya.

Mungkin ada yang berpikir bahwa beliau sangat bergelimang harta. Tidak juga. Untuk bantuan ini, beliau rela menjual mahar pernikahannya untuk menutupi dana kegiatan kami yang kurang. Fantastis, bukan? Bagi perempuan kebanyakan yang baru memasuki gerbang pernikahan, tentunya berat untuk melepaskan identitas kebanggaannya tersebut. Hebatnya lagi, ketika saya sampaikan rincian kekurangan dana yang sesungguhnya, beliau justru dengan enteng mengatakan "afwan, itu beda toko soalnya. Kalau masih kurang, nanti yang cincin dijual juga". Saya bingung, kehabisan kata. Saya hanya berucap, “memang nggak papa, Teh?”. “Ya nggak papa”, jawabnya mantap. Akhirnya kami sepakat untuk membahas kekurangan tersebut dengan teman-teman lainnya dua hari kemudian.

"Luar biasa..luar biasa”, batin saya berkali-kali. Sebagai pasangan baru, mungkin beliau juga mempunyai mimpi-mimpi untuk segera memiliki rumah, perabot atau sekadar bersenang. Namun, beliau justru dengan ringannya meminjamkan untuk kepentingan dakwah. Bahkan pinjaman tersebut tidak menyertakan batas waktu pengembalian yang ditentukan. Hanya do'a yang saya sampaikan sebelum beliau meninggalkan kosan saya : “semoga Allah membalas dengan yang lebih baik dan lebih banyak, ya Teh”. "Amin', jawabnya tetap dengan senyum manisnya yang khas. Duh ukhti, semoga saya bisa sepertimu!

1 comment:

Anonymous said...

bagus isinya mba, cuman saya ga setuju ama istilah LEMPER. Singkatannya ngga keren. Menghilangkan kehebatan si akhwat!