Sunday, November 26, 2006

Senja Yang Tenggelam

Miss Victoria telahpun membuang sauh, langkah-langkah gemulai itu berlari
menuju pangkuan samudera gagah. Seiring mengecilnya sebuah sosok di ujung
pelabuhan yang melambai-lambaikan tangan. Sosok itu menghilang di tengah gedebur
ombak Laut Jepang yang memisahkan Honshu-Hokkaido. Tapi bayangannya masih
menari-nari di pelupuk mata Senja. Sosok yang namanya memenuhi diary merah
mudanya, sosok yang entah darimana dikirim tiba-tiba menjelma menjadi pengisi
hari tuanya.

Tua? betulkah ia sudah tua?
“Tidak Senja, engkau masih muda.. apalah arti usia, hanyalah hitungan angka,”
Jawab lelaki itu tegas ketika Senja menyatakan kegalauan hatinya.

Ah, Ramlan mengapa engkau memilih aku? Wanita berusia 40 tahun yang sudah
melupakan impian pengantin. Mengapa? Mengapa? Bukankah engkau masih muda? Usia
30 tahun bagi seorang lelaki adalah usia paling matang, apalagi engkau kandidat
Doktor dari Universitas ternama di Jepang ini. Tidakkah kau ingin memetik daun
muda yang menari-nari elok menyapa keperjakaanmu.

“Tidak Senja, aku hanya ingin cinta sejati dari seorang wanita setia yang
tidak memandang ornamenku… aku butuh cinta abadi yang tak lekang dimakan waktu,”
Ahhh.. lagi-lagi Ramlan mematahkan argumen Senja.
“Tapi aku sudah tidak pantas menjadi pengantin,” Suara Senja semakin serak.
“Senja, bukankah ibunda Khadijah masih menikah di usia 40?”
“Aku bukan dia Ramlan,“ Bantah Senja tangkas.
“Dan Aku bukan Muhammad,“ Ramlan tak kalah tangkas.
“Aku hanyalah seorang Ramlan yang bermimpi meminang bidadari cantik
sepertimu,” Kali ini suara Ramlan bergetar penuh harap.
“Tapi aku tidak cantik,” Getir bibir Senja mengucapkan kata itu, setetes darah
menetes, bibirnya jadi korban pelampiasan gemuruh jiwa.

*****
“Senja, kamu cantik deh”
“Suit..suit… awas Senja lewat”
“Nonton yuk”
“Mau gak jadian ama aku?”
…. Ah entah udah berapa ratus sapaan sejenis menghampiri Senja muda. Senja
muda hanya menanggapi dengan senyum genitnya. Merasa cantik, merasa jadi kembang
telah melambungkan jiwanya. Hari penuh hura-hura telah dijalaninya sejak masih
sekolah menengah. Mall, diskotek, bar telah menjadi tempat-tempat yang akrab
buat dirinya.

Anak cerdas itu telah tenggelam dalam kesenangan semu melupakan hakikat dunia
nyata. Gagal UMPTN tidak membuatnya frustasi, malah ia bahagia karena artinya
lebih bebas. Tawaran sekolah swasta ia tolak dengan alasan ingin istirahat dulu,
mau belajar sungguh-sungguh untuk ikut UMPTN tahun depan. Huh, Senja.. mulut
manismu memang pandai mengecohkan orang tuamu yang sudah sepuh itu. Teganya
engkau berbohong pada orang yang sangat menyayangimu. Satu-satunya putri mereka,
putri yang didamba-damba setelah berumahtangga 15 tahun. Ya, orangtuamu seperti
mendapat keajaiban setelah tak putus berdoa dan usaha selama 15 tahun untuk
mendapatkan seorang Senja. Senja yang diharap sebagai penghias hari senja
mereka. Tidakkah engkau ingin membahagiakan mereka?

Ya..ya.. Senja telah mampu membahagiakan orangtuanya dengan tipu muslihat.
Anak manis yang cantik, anak penurut, tak pulang larut malam tapi kabur lewat
jendela setelah tengah malam! Bangun paling pagi karena sebenarnya belum tidur,
huh Senja!
Setahun, bahkan sampai tahun ke-2 engkau tetap gagal UMPTN.. semakin binal dan
melupakan harapan orang tuamu.

Sampai sebuah petir menyambar rumah tentrammu, engkau hamil 3 bulan! Kaupun
lari dari rumah mengejar bayangan pacarmu yang menghilang dalam pekat bimbang.
Ibumu kena stroke dan meninggal setelah badai itu. Ayahmu merana dalam sepi dan
luka. Langkahmu sudah tidak gemulai lagi, kakimu terseok-seok menahan beban di
perut yang makin membesar. Untunglah seorang kawan lama ikhlas membuka pintu,
kawan yang sering kau cerca karena tidak modis.

Sholilah, gadis berjilbab lebar telah menjadi pahlawanmu. Perlahan kau tata
hidup yang telah hancur berkeping. Rekatan-rekatan telah kau bina walaupun yakin
takkan kembali utuh. Senja muda menjelma menjadi muslimah dewasa. Tangismu telah
berubah menjadi dzikir taubat. Jeritanmu kau hantar di malam penuh tilawah.
Sayang, putra pertamamu telah diambil oleh-Nya sejak kau lahirkan. Penyesalan
dan kesedihan terdalam yang engkau rasakan. Di saat bulir-bulir kasih telah siap
menanti , di saat ketegaran jiwa telah kau tata, dia tak mau diraba.

“Sholih, apakah aku terlalu kotor untuk menimang anakku? Semarah itukah Allah
padaku?” Keluhmu di suatu pagi, sebulan setelah penguburan anakmu.
“Astagfirullah, Senja.. jangan berburuk sangka, mungkin ini yang terbaik yang
telah Allah berikan padamu.”
“Ini jalan engkau bangkit lagi, sahabat... tanpa anak kamu akan bisa kuliah
lagi.” Senyum Sholihah mengembang menegarkan jiwanya.
“Ah, tak mungkin...” Senja menggeleng ragu.
“Apa yang tak mungkin, Senja.. engkau masih muda, terlambat tiga empat tahun
takkan berarti buat orang secerdasmu.”
“Jangan ragu, ayahku telah setuju membiayaimu.” Sholihah begitu mantap
berargumen.
*****
Ah, Nikmat apalagi yang tidak engkau syukuri Senja, beruntung bertemu keluarga
Sholihah yang baik hati. Gulungan masa lalu kau simpan rapi, tekadmu telah bulat
menyongsong masa depan. Lima tahun engkau berenang di kampus Jogja, menorehkan
secarik kertas tanda kelulusan yang akan kau hadiahkan pada ayahmu. Sayang,
lelaki malang itu telah tiada ketika kau kembali dengan sejuta maaf dan bukti.
Bara sesal kembali menggarang dada mengepulkan asap hitam dan jelaga yang tak
mungkin hilang di jiwa.

*****
“Sholih, aku akan bekerja di Jepang, ada kontrak lima tahun..” Kau hantar
berita itu ketika sesegukan di pangkuan Sholihah.
“Heh, sejauh itu dan selama itukah?”
“Ya, aku ingin menjauh, semoga disana aku dapat sedikit melupakan masa
laluku.” Senja memberi alasan yang sebenarnya tidak logis, lari dari kenyataan!
“Terserah kamulah, tapi fikirkan juga masa depanmu,” Sholihah hanya melenguh
panjang meratapi nasib getir kawannya.
“Masa depan apa yang terhampar bagi orang sepertiku?”
“Apakah kamu tidak ingin menikah, punya anak sepertiku Senja? Lihat bayiku ini
lucu bukan?” Sholihah malah menggoda sambil menimang-nimang anaknya yang baru
lahir.
“Ha..ha..ha...” Senja malah tertawa lepas, tawa yang mengandung luka

*****
Ternyata Senja tidak hanya lima tahun mengubur diri, tapi tahun berikutnya
masih berlanjut.. tahun berikutnya.. sampai 13 tahun sudah dia tenggelam dalam
asa tak berujung di negeri Sakura.

“Aku sudah betah disana Sholih, Jepang telah menjadi tanah airku,” Jawabmu
ketika Sholihah bertanya kapan kau kembali.
“Tapi kami rindu kamu, ayah, ibu, adik-adik.. bahkan seluruh keluarga besar,
mereka bertanya kapan kau kembali,” Entah berapa ratus kali Sholihah merayu
Senja.
“Bukankah aku pulang setiap tahun, he..he.he.., ini sekarang aku disini kok
masih bertanya,” Senja bercanda sambil menimang-nimang putri ke-4 Sholihah.
“Ini kontrakmu ke-3 bukan? Tinggal dua tahun lagi Senja.. janganlah kau
perpanjang lagi,” Setengah harap Sholihah lagi-lagi berkata.
“Anakmu cantik... ih gemas aku,” Senja malah mengalihkan pembicaraan, menutup
gedebur rindu kehangatan keluarga ini.

“Senja, Ayah dan Ramlan ingin ketemu.. mereka menunggu di ruang tengah,” Pelan
Sholihah berbisik, ada getar aneh di kalimatnya.
“Ramlan.. Ramlan adik bungsu kita? Katanya kan di Tokyo,” Senja melonjak
kaget, baginya Ramlan sudah seperti adik sendiri, tapi bertahun-tahun sudah ia
tak berjumpa karena jadwal pulang mereka selalu berbeda.

*****
“Tidak.. tidak… engkau adikku, tak mungkin,” Setengah berteriak Senja berkata,
sesaat setelah Ramlan mengajukan lamaran.
“Kalian bukan saudara sedarah, Senja, halal..” Wajah bijak Ayah Sholihah telah
meredam kepanikannya.
“Aku menikahimu bukan karena kasihan, tapi aku mencintaimu karena Allah,”
“Aku tidak melihat masa lalumu, yang kita hadapi sekarang adalah masa depan,
masa depan kita,” Tegas Ramlan mengusir galau hatinya.

Ah, Ramlan... anak kecil yang dulu pakai celana pendek biru menenteng tas
besar dan bola. Anak kecil yang merengek minta dikerjain peer. Tak disangka
dialah yang dihantar menjadi pendamping hidup Senja. Habis sudah
pertanyaan-pertanyaan Senja tentang alur hidupnya yang penuh liku, tak
mungkinlah ia menikah dengan Ramlan ketika masih kepala dua seperti Sholihah.

Mentari telah beranjak ke peraduan, langit Hokkaido sangat indah bagi Senja
senja ini. Senja telah tenggelam, tapi sepi tak lagi mendekap...

Cerpennya Teh Tethy (Ummuthoriq alias Ezokanzo>

No comments: